Kamis, 26 Oktober 2017

Tradisi Saprahan Kota Pontianak




PEMBAHASAN

A.      Tradisi Adat Saprahan Suku Melayu Pontianak
Kata Saprahan sudah asing terdengar di telinga masyarakat Kalbar, padahal kata ini adalah sebuah jamuan makan yang melibatkan banyak orang yang duduk di dalam satu barisan, saling berhadapan dalam duduk satu kebersamaan. Masa kini tradisi tersebut telah berganti menjadi sebuah trend baru prasmanan, dimana sulit untuk mempertemukan sekelompok orang atau masyarakat dalam satu majelis, saling berbagi rasa tanpa syak swangka, saling berhadapan sembari menikmati hidangan makanan di hadapannya.
Tradisi yang dibuat penuh dengan syarat nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat kini telah bergeser dari acara yang sebenarnya, jika kita lihat pada masa kini yang duduk di dalam satu majelis sudah tidak bisa membedakan dan tidak mengetahui posisi masing-masing menurut struktur social didalam masyarakat hal ini akan semakin sumbang jika yang saling berhadapan adalah bukan dari ahlul bait akan tetapi juga bukan muhrimnya sehingga eksestensi nilai di dalam kebersamaan akan menjadi suasana yang berbeda. Bagi pria dan wanita tentunya ada perbedaan di dalam majelis dan bagi bukan muhrim dapat dilakukan secara bergantian, terkecuali dalam jamuan keluarga, akan tetapi di dalam masyarakat yang datang dari berbagai lapisan harus dipahami, ya tau dirilah! Kita harus berada dimana?. Pemisahan ini bahwa di dalam tradisi Islam dilarang keras untuk duduk bersama yang bukan muhrim.


B.       Tata Cara Tradisi Saprahan Suku Melayu Pontianak
Tata cara tradisi saprahan setiap suku Melayu berbeda-beda. Misalnya tata cara saprahan suku melayu sambas berbeda dengan tata cara saprahan suku melayu Pontianak. Tidak hanya tampilan busana yang dipakai oleh pelayan tetapi tampilan hidang juga berbeda. Jika dalam acara saprahan Melayu Sambas peserta saprahan duduk mengelilingi hidangan haruslah berjumlah 6 orang dalam 1 saprahan. Sedangkan acara saprahan Melayu Pontianak peserta saprahan duduk bersap dan hidangan diatur memanjang sesuai pajang sap yang sisediakan.
Adapun tata cara tradisi saprahan suku melayu Pontianak yaitu:
1.         mangkuk atau wadah yang digunakan dalam hidangan  seragam mulai dari warna hingga bahannya. Misalkan mangkung yang digunakan untuk hidangan berwarna putih, maka semua tempat diseragamkan dengan warna yang sama. Biasanya tempat tersebut terbuat dari keramik atau alumunium putih dilengkapi dengan kain lap atau serbet.
2.        Hidangan ini dibawa oleh kelompok atau grup pembawa saprahan dengan berpakaian seragam khas telok belanga, terdiri dari 3 atau 5 petugas juga memakai sarung tangan dan kaus kaki putih.
3.         Penerima tamu harus pandai memilih siapa tamu yang datang dan harus ditempatkan pada sap yang mana, sesuai dari ketokohan dan strata sosial dari undangan yang datang.
4.        Jika sap sudah penuh maka dengan segera disiapkan hidangan dihadapan para undangan.
5.        Jumlah petugas yang telah ditentukan tidak boleh diganggu oleh orang lain. Petugas atau pelayan harus pandai meletakan serta menata lauk pauk serta hidangan. Letaknya mesti sejajar seperti kepala ikan yang menghadap ketimur, maka rangkaian barang yang diberikan semuanya diatur sama, jika ada yang berlawanan arah, maka akan menjadi sumbang hilang kesan kebersamaan, keseragaman, serta kekompakan. Undangan jika melihat hal tersebut sumbang maka dengan segera memberitahu dengan pengantar agar segera dirubah posisinya. Namun semestinya yang ditugaskan harus jeli meletakannya.
6.          undangan makan, sebagian mereka harus hilir mudik memperhatikan lauk-pauk yang ada di depan para undangan. Jika habis harus segera diganti dengan tatacara tertentu. Jangan pernah sekalipun menganti lauk yang habis dengan membawa makanan dari dapur kepiring di depan undangan, kemudian memindahkan makanan tersebut ke dalam piring yang telah dipakai sebelumnya.
7.          Kepala paret yang ditunjuk adalah yang duduk pada sap yang paling depan atau pada bagian atas. Kepala paret menentukan memulai acara makan maupun menutup acara makan, ketika kepala paret memulai makan barulah diikuti dengan yang lainnya dan begitu juga jika kepala paret mengakhiri maka yang lain juga harus mengikutinya, jika masih dilanjutkan oleh yang lain disebut dengan selak atau buaya.
Pada zaman dahulu posisi kepala paret sudah pasti raja. Namun untuk saat ini bisa saja diduduki oleh para pejabat, atau mereka yang dituakan. Kepala paret memang betul-betul diistimewakan. Mereka dengan hidangan khusus, dalam penyajian dilengkapi dengan mampan berwarna emas, tempat cuci tangan dan lap tangan bersih. Memulai makanan maka ahlul bait (tuan rumah) mempersilakan dengan hormat kepada kepala paret untuk segera memulainya
8.          Suguhan Makanan Tersaji Dalam Tiga Gelombang dengan tiga sesi hidangan yang berbeda undangan yang hadir pada suatu majelis. Biasanya ada kesepakatan dari tuan rumah berupa nasi putih, sayur ikan pedas, sambal belacan,ayam,ikan asin,pisang raja atau pisang hijau, bahkan juga ada ditambah dengan makanan khas cencalok (anak udang halus yang diberi sambal). Untuk acara kedua dimulai lagi seperti semula. Lazim disebut dengan gelombang kedua hidangan yang disajikan adalah hidangan pencuci mulut, kue-kue dengan segelas kopi dalam ukuran cawan kecil disebut dengan kopi mak jande, kue berupa bingke berendam, belodar, roti kap.
  Pada gelombang ke tiga hidangan yang dikeluarkan ialah air serbat (air yang terbuat dari ramuan berwarna merah hati). Air serbat (aek penguser) sebagai tanda yang disebut dengan kode bahwa acara sudah berakhir bagi undangan segera meninggalkan tempat jamuan. Akhir acara kepala paret menunjuk seseorang untuk membaca salawat nabi. Dalam acara makan saprahan tidak bisa dikerjakan sembarangan karena setiap tata cara mengandung kearifan local dan penuh dengan nilai-nilai yang dalam hal ini jika dihayati dan diambil arti atau maksudnya tersebut maka akan bermakna.
9.               Pantangan yang berlaku dalam jamuan makan saprahan ialah jangan berbicara kotor serta keji, jangan berludah, jika ada yang bersin maka dengan segera meninggalkan tempat dan digantikan dengan yang lain. Para undangan dilarang mengambil bagian yang bukan dihadapannya. Secara teoritis adat dalam tradisi saprahan sangat merunut pada teori Maslow yakni menempatkan kebutuhan makan dalam hierarki atau sebuah system. Tidak ada batasan siapa yang berhak mengadakan makan saprahan, karena dalam tradisi saprahan memiliki sifat serta kegunaan tertentu dan kadang tak terlepas dari tujuan adat dari tujuan tersebut bagaimana interaksi masyarakat untuk saling mengakrabkan diri, saling mengenal satu sama lain, rasa kebersamaan tercipta sesama warga.


C. Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Acara Saprahan
1. Nilai Kebersamaan
Pada dasarnya upacara saprahan itu sifatnya transparan, diikuti oleh seluruh warga kaum kerabat dan adanya gotong royong sebelum acara dimulai. Pelaksanaan dikoordinir para keluarga besar. Dengan mencerminkan rasa kebersamaan dan kekompakan yang tinggi di mulai dari awal sampai akhir persiapan, pelaksanaan hingga berakhirnya kegiatan.
2. Nilai Ketaatan
Nilai ini tercermin adanya dorongan dalam diri warga masyarakat untuk melaksanakan tradisi yang turun temurun sifatnya,khususnya acara saprahan. Hal ini adanya rasa menghormati pemimpin yang dianggap bisa mewakili kepentingan masyarakatnya atau juga yang dianggap dituakan sangat dihormati, hal ini merupakan manifestasi dari ketaqwaan seorang insan yang diungkapkan di dalam sebuah hadis, taat kepada Allah SWT, taat kepada Rasul, dan taat kepada pemimpin. Adanya rasa keterikatan secara otomatis menciptakan rasa persatuan dan kesatuan sesama umat yang harus dapat dipertahankan agar acara seperti ini menjadi sebuah identitas masyarakatnya.
3. Nilai Religius
Dari pelaksanaan upacara saprahan dapat dilihat bahwa di dalam menghadapi hidangan yang dianugrahkan Allah SWT tidak terlepas dari acara berdoa dan ditutupi dengan membaca salawat kepada nabi, agar di dalam acara tersebut mendapat berkah serta pahala dan selamat dari musibah dan bencana.
Pelaksanaan acara saprahan dapat mengikat persatuan dan kesatuan yang pada akhirnya dapat menumbuhkan identitas diri masyarakat yang bersangkutan, terutama dari nilai kebersamaan, kegotong royongan dan kekompakan yang diwujudkan dalam rangkaian upacara tersebut. Nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan pada generasi muda melalui pendidikan non formal di rumah atau dilingkungan social maupun pendidikan sekolah secara formal. Selanjutnya acara saprahan perlu dilakukan secara berkesinambungan untuk melestarikan salah satu adat budaya bangsa guna memupuk kerjasama antar warga hingga memperkokoh rasa identitas bersama.

Lomba Saprahan






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh RPP MTK Satuan Kuantitas

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN Sekolah Dasar             : SD Plus Bina Empat Lima Mata Pelajaran            :   Ma t ematika ...