PEMBAHASAN
A.
Tradisi Adat Saprahan Suku Melayu
Pontianak
Kata Saprahan sudah asing terdengar
di telinga masyarakat Kalbar, padahal kata ini adalah sebuah jamuan makan yang
melibatkan banyak orang yang duduk di dalam satu barisan, saling berhadapan
dalam duduk satu kebersamaan. Masa kini tradisi tersebut telah berganti menjadi
sebuah trend baru prasmanan, dimana sulit untuk mempertemukan sekelompok orang
atau masyarakat dalam satu majelis, saling berbagi rasa tanpa syak swangka,
saling berhadapan sembari menikmati hidangan makanan di hadapannya.
Tradisi yang dibuat penuh dengan
syarat nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat kini telah bergeser dari acara
yang sebenarnya, jika kita lihat pada masa kini yang duduk di dalam satu
majelis sudah tidak bisa membedakan dan tidak mengetahui posisi masing-masing
menurut struktur social didalam masyarakat hal ini akan semakin sumbang jika
yang saling berhadapan adalah bukan dari ahlul bait akan tetapi juga bukan
muhrimnya sehingga eksestensi nilai di dalam kebersamaan akan menjadi suasana
yang berbeda. Bagi pria dan wanita tentunya ada perbedaan di dalam majelis dan
bagi bukan muhrim dapat dilakukan secara bergantian, terkecuali dalam jamuan
keluarga, akan tetapi di dalam masyarakat yang datang dari berbagai lapisan
harus dipahami, ya tau dirilah! Kita harus berada dimana?. Pemisahan ini bahwa
di dalam tradisi Islam dilarang keras untuk duduk bersama yang bukan muhrim.
B.
Tata
Cara Tradisi Saprahan Suku Melayu Pontianak
Tata cara tradisi
saprahan setiap suku Melayu berbeda-beda. Misalnya tata cara saprahan suku
melayu sambas berbeda dengan tata cara saprahan suku melayu Pontianak. Tidak
hanya tampilan busana yang dipakai oleh pelayan tetapi tampilan hidang juga
berbeda. Jika dalam acara saprahan Melayu Sambas peserta saprahan duduk
mengelilingi hidangan haruslah berjumlah 6 orang dalam 1 saprahan. Sedangkan
acara saprahan Melayu Pontianak peserta saprahan duduk bersap dan hidangan
diatur memanjang sesuai pajang sap yang sisediakan.
Adapun tata
cara tradisi saprahan suku melayu Pontianak yaitu:
1.
mangkuk atau wadah yang digunakan dalam
hidangan seragam mulai dari warna hingga
bahannya. Misalkan mangkung yang digunakan untuk hidangan berwarna putih, maka
semua tempat diseragamkan dengan warna yang sama. Biasanya tempat tersebut
terbuat dari keramik atau alumunium putih dilengkapi dengan kain lap atau
serbet.
2.
Hidangan ini dibawa oleh kelompok atau grup
pembawa saprahan dengan berpakaian seragam khas telok belanga, terdiri dari 3
atau 5 petugas juga memakai sarung tangan dan kaus kaki putih.
3.
Penerima tamu harus pandai memilih siapa
tamu yang datang dan harus ditempatkan pada sap yang mana, sesuai dari
ketokohan dan strata sosial dari undangan yang datang.
4.
Jika sap sudah penuh maka dengan segera
disiapkan hidangan dihadapan para undangan.
5.
Jumlah petugas yang telah ditentukan tidak
boleh diganggu oleh orang lain. Petugas atau pelayan harus pandai meletakan
serta menata lauk pauk serta hidangan. Letaknya mesti sejajar seperti kepala
ikan yang menghadap ketimur, maka rangkaian barang yang diberikan semuanya
diatur sama, jika ada yang berlawanan arah, maka akan menjadi sumbang hilang
kesan kebersamaan, keseragaman, serta kekompakan. Undangan jika melihat hal
tersebut sumbang maka dengan segera memberitahu dengan pengantar agar segera dirubah
posisinya. Namun semestinya yang ditugaskan harus jeli meletakannya.
6.
undangan makan, sebagian mereka harus
hilir mudik memperhatikan lauk-pauk yang ada di depan para undangan. Jika habis
harus segera diganti dengan tatacara tertentu. Jangan pernah sekalipun menganti
lauk yang habis dengan membawa makanan dari dapur kepiring di depan undangan,
kemudian memindahkan makanan tersebut ke dalam piring yang telah dipakai
sebelumnya.
7.
Kepala paret yang ditunjuk adalah yang
duduk pada sap yang paling depan atau pada bagian atas. Kepala paret menentukan
memulai acara makan maupun menutup acara makan, ketika kepala paret memulai
makan barulah diikuti dengan yang lainnya dan begitu juga jika kepala paret
mengakhiri maka yang lain juga harus mengikutinya, jika masih dilanjutkan oleh yang
lain disebut dengan selak atau buaya.
Pada zaman
dahulu posisi kepala paret sudah pasti raja. Namun untuk saat ini bisa saja
diduduki oleh para pejabat, atau mereka yang dituakan. Kepala paret memang
betul-betul diistimewakan. Mereka dengan hidangan khusus, dalam penyajian
dilengkapi dengan mampan berwarna emas, tempat cuci tangan dan lap tangan
bersih. Memulai makanan maka ahlul bait (tuan rumah) mempersilakan dengan
hormat kepada kepala paret untuk segera memulainya
8.
Suguhan Makanan Tersaji Dalam Tiga
Gelombang dengan tiga sesi hidangan yang berbeda undangan yang hadir pada suatu
majelis. Biasanya ada kesepakatan dari tuan rumah berupa nasi putih, sayur ikan
pedas, sambal belacan,ayam,ikan asin,pisang raja atau pisang hijau, bahkan juga
ada ditambah dengan makanan khas cencalok (anak udang halus yang diberi sambal).
Untuk acara kedua dimulai lagi seperti semula. Lazim disebut dengan gelombang
kedua hidangan yang disajikan adalah hidangan pencuci mulut, kue-kue dengan
segelas kopi dalam ukuran cawan kecil disebut dengan kopi mak jande, kue berupa
bingke berendam, belodar, roti kap.
Pada gelombang ke tiga hidangan yang
dikeluarkan ialah air serbat (air yang terbuat dari ramuan berwarna merah
hati). Air serbat (aek penguser) sebagai tanda yang disebut dengan kode bahwa
acara sudah berakhir bagi undangan segera meninggalkan tempat jamuan. Akhir
acara kepala paret menunjuk seseorang untuk membaca salawat nabi. Dalam acara
makan saprahan tidak bisa dikerjakan sembarangan karena setiap tata cara
mengandung kearifan local dan penuh dengan nilai-nilai yang dalam hal ini jika
dihayati dan diambil arti atau maksudnya tersebut maka akan bermakna.
9.
Pantangan yang berlaku dalam jamuan makan
saprahan ialah jangan berbicara kotor serta keji, jangan berludah, jika ada
yang bersin maka dengan segera meninggalkan tempat dan digantikan dengan yang
lain. Para undangan dilarang mengambil bagian yang bukan dihadapannya. Secara
teoritis adat dalam tradisi saprahan sangat merunut pada teori Maslow yakni
menempatkan kebutuhan makan dalam hierarki atau sebuah system. Tidak ada
batasan siapa yang berhak mengadakan makan saprahan, karena dalam tradisi
saprahan memiliki sifat serta kegunaan tertentu dan kadang tak terlepas dari
tujuan adat dari tujuan tersebut bagaimana interaksi masyarakat untuk saling
mengakrabkan diri, saling mengenal satu sama lain, rasa kebersamaan tercipta
sesama warga.
C.
Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Acara Saprahan
1. Nilai
Kebersamaan
Pada dasarnya upacara saprahan itu
sifatnya transparan, diikuti oleh seluruh warga kaum kerabat dan adanya gotong
royong sebelum acara dimulai. Pelaksanaan dikoordinir para keluarga besar.
Dengan mencerminkan rasa kebersamaan dan kekompakan yang tinggi di mulai dari
awal sampai akhir persiapan, pelaksanaan hingga berakhirnya kegiatan.
2. Nilai
Ketaatan
Nilai ini tercermin adanya dorongan
dalam diri warga masyarakat untuk melaksanakan tradisi yang turun temurun
sifatnya,khususnya acara saprahan. Hal ini adanya rasa menghormati pemimpin
yang dianggap bisa mewakili kepentingan masyarakatnya atau juga yang dianggap
dituakan sangat dihormati, hal ini merupakan manifestasi dari ketaqwaan seorang
insan yang diungkapkan di dalam sebuah hadis, taat kepada Allah SWT, taat
kepada Rasul, dan taat kepada pemimpin. Adanya rasa keterikatan secara otomatis
menciptakan rasa persatuan dan kesatuan sesama umat yang harus dapat
dipertahankan agar acara seperti ini menjadi sebuah identitas masyarakatnya.
3. Nilai
Religius
Dari pelaksanaan upacara saprahan
dapat dilihat bahwa di dalam menghadapi hidangan yang dianugrahkan Allah SWT
tidak terlepas dari acara berdoa dan ditutupi dengan membaca salawat kepada
nabi, agar di dalam acara tersebut mendapat berkah serta pahala dan selamat
dari musibah dan bencana.
Pelaksanaan acara saprahan dapat
mengikat persatuan dan kesatuan yang pada akhirnya dapat menumbuhkan identitas
diri masyarakat yang bersangkutan, terutama dari nilai kebersamaan, kegotong
royongan dan kekompakan yang diwujudkan dalam rangkaian upacara tersebut.
Nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan pada generasi muda melalui pendidikan
non formal di rumah atau dilingkungan social maupun pendidikan sekolah secara
formal. Selanjutnya acara saprahan perlu dilakukan secara berkesinambungan
untuk melestarikan salah satu adat budaya bangsa guna memupuk kerjasama antar
warga hingga memperkokoh rasa identitas bersama.
Lomba Saprahan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar