A.
Pancasila
Sebagai Sistem Filsafat
1. Pengertian
Sistem, Filsafat dan Pancasila
System adalah suatu
kebulatan atau kebutuhan, yang bagian dan susunannya saling berkaitan, saling
berhubungan dan saling bekerjasama satu sama lain untuk tujuan tertentu dan
merupakan keseluruhan yang utuh.
Istilah filsafat
berasal dari Bahasa Yunani yaitu Philosopia yang terdiri atas dua kata Philos yang bearti cinta atau Philia yang bearti persahabatan atau
tertarik, dan Sophos yang bearti
hikmah, kebijaksanaan,pengetahuan,keterampilan dan intelegensi. Dengan demikian
secara etomologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran ( Love of wisdom). Dalam pengertian lain
filsafat adalah pemikiran fundamental dan monumental manusia untuk mencari
kebenaran yang hakiki atau hikmat dan kebijaksanaan, karena itu nilai
kebenarannya diakui sebagai kebenaran yang terbaik, yang dijadikan pandangan
hidup dan falsafah hidup.
Pada umumnya terdapat dua pengertian filsafat yaitu
filsafat sebagai produk dan filsafat sebagai proses, karena selain pengertian
filsafat sebagai pandangan hidup dikenal pula filsafat dalam arti teoritis dan
dalam arti praktis. Maka, filsafat dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Filsafat
sebagai produk yang mencakup pengertian:
Ø Filsafat
sebagai pengetahuan, ilmu, konsep, pemikiran-pemikiran filsuf pada aman dahulu.
Ø Filsafat
sebagai suatu jenis problema yang dihadapi manusia sebagai aktivitas
berfilsafat.
b. Filsafat
sebagai suatu proses, yaitu bentuk suatu aktivitas berfilsafat, dalam proses
pemesacahan suatu masalah dengan menggunakan suatu cara tertentu sesuai dengan
objeknya.
Istilah “Pancasila” berasal dari Bahasa sansekerta
yaitu Panca yang bearti lima dan sila yang berarti dasar. Dengan demikian
Pancasila berate lima dasar. Kelima dasar tersebut merupakan satu kesatuan
rangkaian nilai-nilai luhur yang bersumber dari nilai-nilai budaya masyarakat
Indonesia yang sangat majemuk dan beragam dalam artian Bhineka Tunggak Ika yang
telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dulu. Esensinya seluruh sila-silanya
merupakan suatu kesatuan.
2.
Bukti
Bahwa Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
Pancasila sebagai sistem filsafat adalah
dasar mutlak dalam berfikir dan berkarya dengan cara saling mengaitkan antara
sila yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian ketika mengkaji sila ke-5
yang intinya keadilan, maka harus dikaitkan dengan sila-sila yang lainnya.
Filsafat Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa Indonesia merupakan kenyataan yang objektif yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Pancasila memberi petunjuk mencapai kesejahteraan
bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan suku dan ras.
Pancasila sebagai suatu system filsafat dapat berupa
jati diri bangsa, misalnya Pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia ,sebagai dasar filsafat negara,sebagai
ideology bangsa dan negara Indonesia.
Proses terjadinya Pancasila yaitu
melalui proses yang disebut kausa materialisme karena nilai-nilai Pancasila
sudah ada sejak aman dahulu yang tercermin dalam kehidupan sehari hari.
Nilai-nilai Pancasila diungkap dan dirumuskan dari sumber nilai utamanya yaitu:
a. Nilai-nilai
yang bersifat fundamental, universal,mutlak dan abadi dari Tuhan Yang Maha Esa
yang tercermin dalam inti kesamaan ajaran-ajaran agama dalam kitab suci.
b. Nilai-nilai
yang bersifat kolektif nasional yang merupakan intisari dari nilai-nilai yang
luhur budaya masyarakat.
c. Rumusan
kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem.
Pancasila
yang terdiri dari lima sila pada hakikatnya
merupakan suatu sistem filsafat yang saling berhubungan.
3.
Tinjauan
Pancasila
Mempelajari Pancasila sebagai dasar
negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa
Indonesia adalah kewajiban moral seluruh warga negara Indonesia. Pancasila yang
benar dan sah (otentik) adalah yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu ditegaskan melalui Instruksi
Presiden RI No.12 Tahun 1968, tanggal 13 April 1968. Penegasan
tersebut diperlukan untuk menghindari tata urutan atau rumusan sistematik yang
berbeda, yang dapat menimbulkan kerancuan pendapat tentang isi Pancasila yang
benar dan sesungguhnya.
Ada dua pendekatan yang semestinya
dilakukan untuk memperoleh pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai
Pancasila, adalah pendekatan yuridis-konstitusional dan pendekatan
komprehensif.
Pendekatan yuridis-konstitusional
diperlukan guna meningkatkan kesadaran akan peranan Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum, dan karenanya mengikat seluruh bangsa dan negara
Indonesia untuk melaksanakannya. Pelaksanaan Pancasila mengandaikan tumbuh dan
berkembangnya pengertian, penghayatan dan pengamalannya dalam keseharian hidup
kita secara individual maupun sosial selaku warga negara Indonesia.
Pendekatan komprehensif diperlukan
untuk memahami aneka fungsi dan kedudukan Pancasila yang didasarkan pada nilai
historis dan yuridis-konstitusional Pancasila: sebagai dasar negara,
ideologi,
ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Pancasila pun merupakan satu kesatuan sistem filsafat bangsa atau pandangan
hidup bangsa. Maka tinjauan historis, yuridis-konstitusional dan Tinjauan tentang sifat dasar Pancasila
filosofis juga dipilih untuk memperoleh pemahaman yang
mengarah pada hakikat nilai-nilai budaya bangsa yang dikandung Pancasila
sebagai suatu sistem filsafat.
- Tinjauan historis
Pembahasan historis Pancasila
dibatasi pada tinjauan terhadap perkembangan rumusan Pancasila sejak tanggal 29
Mei 1945 sampai dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968.
Pembatasan ini didasarkan pada dua pengandaian, yakni:
- Telaah tentang dasar negara Indonesia merdeka baru dimulai pada tanggal 29 Mei 1945, saat dilaksanakan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI);
- Sesudah Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 tersebut, kerancuan pendapat tentang rumusan Pancasila dapat dianggap tidak ada lagi.
Tinjauan historis Pancasila dalam
kurun waktu tersebut kiranya cukup untuk memperoleh gambaran yang memadai
tentang proses dan dinamika Pancasila hingga menjadi Pancasila otentik. Dalam
sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan telaah
pertama tentang dasar negara Indonesia merdeka sebagai berikut: 1) Peri
Kebangsaan; 2) Peri Kemanusiaan; 3) Peri Ketuhanan; 4) Peri Kerakyatan; 5)
Kesejahteraan Rakyat. Ketika itu ia tidak memberikan nama terhadap lima (5)
azas yang diusulkannya sebagai dasar negara.
Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam
sidang yang sama, Ir. Soekarno juga mengusulkan lima (5) dasar negara sebagai
berikut: 1) Kebangsaan Indonesia; 2) Internasionalisme; 3) Mufakat atau
Demokrasi; 4) Kesejahteraan Sosial; 5) Ketuhanan Yang Berkebudayaan.
Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli
1945, “Piagam Jakarta” diterima sebagai rancangan Mukadimah hukum dasar
(konstitusi) Negara Republik Indonesia. Rancangan tersebut – khususnya
sistematika dasar negara (Pancasila) – pada tanggal 18 Agustus disempurnakan
dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi: 1)
Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan
Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Dalam Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) yang pernah menggantikan UUD 1945
tersebut, Pancasila dirumuskan secara ‘lebih singkat’ menjadi: 1) Pengakuan
Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Perikemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan; 5)
Keadilan sosial.
Sementara itu di kalangan masyarakat
pun terjadi kecenderungan menyingkat rumusan Pancasila dengan alasan praktis/
pragmatis atau untuk lebih mengingatnya dengan variasi sebagai berikut: 1)
Ketuhanan; 2) Kemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan atau Kedaulatan Rakyat;
5) Keadilan sosial. Keanekaragaman rumusan dan atau sistematika Pancasila itu
bahkan tetap berlangsung sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang secara
implisit tentu mengandung pula pengertian bahwa rumusan Pancasila harus sesuai
dengan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Melalui Instruksi Presiden RI No.12 Tahun
1968, rumusan yang beraneka ragam itu selain membuktikan bahwa jiwa
Pancasila tetap terkandung dalam setiap konstitusi yang pernah berlaku di
Indonesia, juga memungkinkan terjadinya penafsiran individual yang membahayakan
kelestariannya sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai
budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Menyadari bahaya tersebut, pada
tanggal 13 April 1968, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden RI No.12
Tahun 1968 yang menyeragamkan tata urutan Pancasila seperti yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945.
- Tinjauan yuridis-konstitusional
Meskipun nama “Pancasila” tidak
secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945 sebagai dasar negara, tetapi pada
alinea keempat Pembukaan UUD 1945 itu secara jelas disebutkan bahwa dasar
negara Indonesia adalah keseluruhan nilai yang dikandung Pancasila.
Menurut Darji Darmodihardjo (1984)
bahwa secara yuridis-konstitusional, “Pancasila adalah Dasar Negara yang dipergunakan
sebagai dasar mengatur,menyelenggarakan pemerintahan negara. Mengingat bahwa
Pancasila adalah Dasar Negara, maka mengamalkan dan mengamankan Pancasila
sebagai Dasar Negara mempunyai sifat imperatif/ memaksa, artinya setiap warga
negara Indonesia harus tunduk dan taat kepadanya. Siapa saja yang melanggar
Pancasila sebagai Dasar Negara, ia harus ditindak menurut hukum, yakni hukum
yang berlaku di Negara Indonesia.”
Pernyataan tersebut sesuai dengan
posisi Pancasila sebagai sumber tertinggi tertib hukum atau sumber dari segala
sumber hukum. Dengan demikian, segala hukum di Indonesia harus bersumber pada
Pancasila, sehingga dalam konteks sebagai negara yang berdasarkan hukum (Rechtsstaat),
Negara dan Pemerintah Indonesia ‘tunduk’ kepada Pancasila sebagai ‘kekuasaan’
tertinggi.
Oleh karena itu dapatlah dimengerti
bahwa seluruh undang-undang, peraturan-peraturan operasional dan atau hukum
lain yang mengikutinya bukan hanya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
- Tinjauan tentang sifat dasar Pancasila
Secara yuridis-konstitusional,
Pancasila adalah dasar negara. Namun secara multidimensional, ia memiliki
berbagai sebutan (fungsi/ posisi) yang sesuai pula dengan esensi dan
eksistensinya sebagai kristalisasi nilai-nilai budaya dan pandangan hidup
bangsa Indonesia. Karena itu Pancasila sering disebut dan dipahami sebagai: 1 )
Jiwa Bangsa Indonesia; 2 ) Kepribadian Bangsa Indonesia; 3 ) Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia; 4 ) Dasar Negara Republik Indonesia; 5 ) Sumber Hukum atau
Sumber Tertib Hukum bagi Negara Republik Indonesia; 6 ) Perjanjian Luhur Bangsa
Indonesia pada waktu mendirikan Negara; 7 ) Cita-cita dan Tujuan Bangsa Indonesia;
8 ) Filsafat Hidup yang mempersatukan Bangsa Indonesia.
Sebutan yang beraneka ragam itu
mencerminkan kenyataan bahwa Pancasila adalah dasar negara yang bersifat
terbuka. Pancasila tidak bersifat kaku (rigid), melainkan luwes karena
mengandung nilai-nilai universal yang praktis (tidak utopis) serta bersumber
pada nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. atau philosophical
system tidaklah perlu sampai menimbulkan pertentangan dan persengketaan
apalagi perpecahan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar